Best Web Hosting
Jangan lupa berikan komentarmu, di sini yah!

Makasih udah mau berkunjung

Mari berbagi cerita dan pengalaman kamu via e-mail ke
l3tn0313.awanangin@blogger.com. Klik Peraturan Cerpen Awan Angin

Mau bergabung dengan kami? Klik "JOIN" di bawah ini!

30 Des 2011

Baskom Itu Buktinya

Lelaki itu berjalan sempoyongan memasuki kantor Polisi. Sekujur tubuhnya dipenuhi darah, mukanya telah hancur tak lagi seperti manusia. Beberapa tulang iganya patah setelah berbagai kayu, tongkat dan balok menghujam tubuhnya. Pakaian dan celananya sudah
tak diketahui warna aslinya. Semuanya merah, hingga tak dapat dibedakan mana yang kulit dan mana yang kain. Satu dua pukulan masih harus ia terima. Beberapa aparat mendorong massa yang masih ingin meluapkan kemarahannya
“Dasar maling! Bunuh saja dia, Pak!”
“Babi! Sana mampus saja kamu!”
Para wartawan tak mau ketinggalan, mereka berdesak-desakan berlomba memotret tersangka dari berbagai sudut. Entahlah, dari mana para wartawan itu datang, mereka seolah memiliki hidung seperti anjing. Setiap saja ada peristiwa besar, mereka selalu muncul dan lansung ceklak-ceklik mengambil gambar.
Seorang ibu yang ikut mengarak lelaki itu, sambil memopong anaknya yang masih berusia tiga bulan, berteriak dan melemparkan sandal jepit ke muka lelaki itu
“Dasar ora waras, bikin bangkrut usaha orang!”
Para aparat yang segera sadar bahwa massa mulai memasuki ruangan kantor langsung mengangkat tongkat dan memaksa mereka keluar
“Saudara-saudara! Kalau Saudara-saudara tidak bisa tenang dan segera meninggalkan ruangan ini, kami akan bertindak tegas!”
“Tapi dia maling, Pak! Bunuh saja!”
“Benar, Pak! Dipistol saja, biar mampus!”
“Bunuh saja! Jangan ada ampun!”
“Tenang! Tenang! Biar kami para aparat yang mengurusnya, Bapak-bapak silahkan pulang, kami yang akan selesaikan!”
“Dipenjara seumur hidup saja, Pak!
“Dihukum mati!”
“Tenang! Tenang! Semua akan diproses sesuai prosedur hukum. Sekarang kami mohon Bapak-bapak dan Saudara sekalian tenang! Silahkan menunggu di luar!”
Untunglah mereka bersedia meninggalkan ruang sempit itu. Para Polisi segera menutup pintu. Beberapa wartawan memaksa untuk tetap berada di dalam ruangan, tetapi aparat tetap tidak mengijinkan. Wartawan-wartawan itu mulai beradu mulut dengan alasan dari pers.
“Kami akan kesulitan memproses kasus ini kalau kawan-kawan pers tetap berada di ruang sesempit ini!”
“Pak, kami cuma meliput dan mengambil gambar saja. Kami rasa itu tidak akan mengganggu.”
“Ya, kami tahu itu. Namun aparat butuh suasana kondusif agar bisa berjalan lancar. Kami mohon kerjasamanya dari kawan-kawan wartawan.”
“Pak, kami cuma meliput jalannya interogasi. Itu tidak mengganggu, kan?!”
“Nanti akan ada season sendiri. Kami mohon kerjasamanya dari kawan-kawan pers sekalian. Kita sama-sama menjalankan tugas, jadi, sekali lagi, mohon kerjasamanya!”
Dan begitulah, Polisi selalau menang. Dengan wajah muram, para wartawan itu keluar dari ruangan.
***
SEORANG Polisi yang tangan kirinya dibalut oleh perban (mungkin luka) menyiapkan mesin ketik. Dua orang polisi yang berpakaian preman mendekat, yang berkaos hitam ketat duduk di samping kanan petugas ketik, yang satu lagi berbaju kotak-kotak, keduanya berperut gendut dan berkumis tebal, duduk di atas meja
“Sebutkan nama dan alamat Saudara!”
“Saya Yanto, Pak.”
“Nama lengkap?”
“Yanto Suageng.”
“Asalnya?”
“Ngawinan, Pak.”
“Tempat, tanggal lahir?”
“Saya tidak ngepet, Pak! Demi Allah!”
“Ya, tapi kami tanya tanggal lahir.”
“Demi Allah, Pak! Saya tidak ngepet!”
Dengngng!!! Yang berkumis tebal menggedor meja. Membentak. Melotot.
“Itu nanti! Kami tanya tanggal lahir! Apa perlu tak bikin lebih hancur mukamu!”

***
BAU pesing dan amis menyeruak memenuhi ruang penjara. Sejenak Yanto memandangi dinding, tembok yang ditumbuhi lumut dan terdapat banyak coretan, sepertinya di dengan serpihan genting atau batu bata. Ah, tak ada keinginan baginya untuk membaca tulisan yang selang-sengkarut di tembok. Mungkin, hanya gambar seorang polisi sedang kencing berdiri dan terdapat tulisan ‘Sipir Asu!’ yang sempat dibacanya.
Yanto termenung. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia alami. Suara penduduk yang mengeroyok dan mengaraknya ke kantor polisi masih mendenging di telinganya. Satu-persatu cemo’oh dan tuduhan yang terlontar dari para tetangganya sendiri memenuhi benaknya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi andai saja pak Carik tidak melerai aksi brutal mereka, mungkin, tubuhnya kini telah terbujur kaku di atas sawah atau terapung di sungai, atau bahkan mungkin telah hangus di-bakar ramai-ramai oleh penduduk.
Pagi tadi, sebelum adzan subuh berkumandang Yanto berniat wudhu untuk menunaikan sholat malam seperti biasa. Namun karena air kran di kamar mandinya mati, Yanto memutuskan untuk berwudhu di sungai. Beberapa meter sebelum tepi sungai, ia gagal meloncati batu di pinggir sungai dan akhirnya terjatuh. Belum usai ia merasakan sakit di lengan kirinya akibat menimpa batu, serombongan warga dengan senter dan obor serta berbagai macam tongkat dan senjata datang mendekat dan berteriak babi ngepet, babi ngepet. Yanto tersentak. Sebuah senter menyorot ke wajahnya
“Yanto? Ngapain kamu di sini?”
“Saya sedang wudhu, Wak. Ada apa?”
Seorang warga yang memegang balok kayu menyenter lengan kiri Yanto
“Hei, lihat! Bukankah tadi aku sempat menggebuk kaki depan babi ngepet itu?”
“Ah, benar. Lihat, dia memegang lengan kirinya, seperti menahan rasa sakit.”
“Hah, Yanto, jadi kamu babi ngepet itu?!”
Setelah itu, penduduk mulai menggiring Yanto pulang ke rumahnya. Mereka berhenti di depan rumah. Beberapa orang mendobrak pintu rumah dan langsung menggeledah ke dalam rumah. Beberapa saat, suasana agak hening. Mereka menunggu laporan beberapa orang yang masuk ke dalam rumah. Yanto masih menahan rasa sakit di lengan kirinya. Ia masih tak tahu apa yang dicari beberapa orang yang masuk ke dalam rumahnya, sementara kedua tangannya dipegang erat oleh beberapa pemuda.
“Hei, lihat ke dalam! Yanto memang melakukan ngepet!” teriak seseorang dari pintu
Orang-orang mulai ricuh kembali, mereka mendorong tubuh Yanto masuk ke dalam rumah dan alangkah bingungnya Yanto ketika melihat orang-orang menunjukkan baskom berisi air di ruang tamu sebagai bukti bahwa dirirnya telah melakukan praktik babi ngepet.
“Ya, Allah, Tabahkanlah hati hambamu ini!” Airmatanya berderai ketika bayangan isteri dan anaknya datang dan menjubal dalam benaknya. Kemarin, Udin yang masih berusia tiga tahun minta dibelikan kapal-kapalan, Udin ingin menjadi pelaut. Jadi Marinir dan punya kapal sendiri. Dan karena begitu senangnya dibelikan kapal-kapalan, Udin bermain hingga larut malam. Isterinya tak sempat membereskan baskom berisi air dan lilin yang ditempel di atas gadak kapal mainan itu. Sungguh tidak dinyana, baskom dan lilin itu akan dijadikan barang bukti bahwa dirinya telah melakukan praktik babi ngepet.
***
“Saudara Yanto. Silahkan ikut kami!”
“Ke mana, Pak?”
“Ke ruang interogasi.”
“Tadi siang sudah kan, Pak?”
“Ya, sekarang lagi.”
“Lho, saya kan sudah bilang, kalau saya tidak ngepet
“Sudah diam! Cepat ikut kami!”
Samar-samar suara adzan maghrib terdengar dari kejauhan. Yanto menelusuri lorong-lorong penjara yang remang, dua sipir penjara berjalan di belakangnya. Satunya merokok, satunya lagi asyik bermain Hand-Phone. Para tahanan ada yang tertidur, ada juga yang berteriak-teriak menirukan suara adzan, ada yang sedang bergerak-gerak menari dan bercakap sendiri seperti aktor wayang-orang dan ada pula yang merenung seperti yang dilakukan Yanto tadi. Seorang tahanan yang tubuhnya dipenuhi tato mendekat ke muka jeruji saat Yanto melintas di depannya, “Hahaha, dasar celeng! Hanya pingin kaya saja pakai ngepet segala, nggak jantan! Mending gue nih, nggarong! Kan lebih keren!”
Setelah berjalan kurang dari lima menit, sampailah ia di ruangan gelap, hanya ada satu lampu yang menyorot tepat di atas kursi. Yanto tahu bahwa tempat itu adalah ruang interogasi yang mengerikan, dan tersangka pasti digebuki ketika berbohong atau tidak mengaku seperti yang sering ia lihat di film-film.
“Maaf, Pak, sebelum diinterogasi bolehkah saya sholat dulu?” Yanto memberanikan diri.
“Oh, ya silahkan! Bapak bisa mengambil air wudhu di belakang ruangan ini, nanti biar penjaga yang mengantarnya.”
“Terimakasih, Pak.”
Hatinya sedikit lega karena orang yang berada di ruangan itu ternyata tidak segalak seperti yang ada di film-film atau segalak aparat yang menanyainya tadi siang. Rambut yang mirip pak Carik dan senyum yang ramah membuat Yanto enteng beranjak mengambil air wudhu.
***
“Bapak merokok?”
“Terima kasih, Pak. Saya tidak merokok.”
Sekali lagi hati Yanto merasa lega karena petugas interogasi itu benar-benar ramah dan tidak galak. Dua orang polisi berjaket hitam berdiri di belakang petugas itu. Wajah mereka tak terlihat jelas karena lampu di ruangan itu hanya menyinari tepat di atas kepala Yanto sendiri.
“Saudara pernah melakukan praktik ngepet?”
“Lho, kan sudah saya bilang kalau saya belum pernah ngepet.”
“Saudara pernah pergi ke dukun atau paranormal?”
“Pernah, Pak. Dukun bayi. Waktu itu isteri saya akan melahirkan, karena malam dan tidak ada bidan yang dekat, saya pergi ke dukun bayi, Pak”
“Selain dukun bayi?”
“Belum, Pak. Malahan saya tidak tahu kalau ada dukun selain dukun bayi di desa Wonorojo?”
“Di Wonorojo? Siapa nama dukun itu?”
“Iya, Pak, Wonorojo. Di sana ada dukun bayi, namanya Mbah Piluh, Pak”
“Berapa kali Saudara pernah pergi ke sana?”
“Wah, saya lupa. Saya sering ke sana kalau ada orang yang akan melahirkan. Saya yang selalu disuruh Pak RT untuk menjemput dukun itu.”
“Kapan terakhir Saudara ke sana?”
“Hmm… Kalau nggak salah tiga bulan yang lalu, Pak. Waktu Lik Minah hamil tua. Itu lho, Pak, perempuan yang tadi siang melempar muka saya dengan sandal jepit di depan kantor.”
“Setelah itu, apa Saudara tidak pernah ke sana lagi?”
“Enggak, Pak. Soalnya sekarang sudah ada bidan desa, jadi tinggal pergi ke Balai Desa atau rumah Bu Bidan”
Petugas itu lalu memandang ke arah dua polisi yang berdiri di belakangnya.
“Penjaga, tolong ambilkan barang bukti!”
“Siap.”
Penjaga itu mengambil baskom warna hijau dan lilin putih yang ada di atas kapal mainan berwarna merah, kemudian meletakkan di atas meja.
“Saudara Yanto.”
“Iya, Pak.”
“Baskom dan lilin di kapal mainan ini milik Saudara?’
“Benar, Pak. Baskom ini milik isteri saya dan kapal-kapalan ini mainan anak saya.”
“Baiklah, sementara cukup segini dulu. Penjaga, silahkan kalian teruskan!”
“Siap, laksanakan!”
***
SUARA riuh para penghuni sel tahanan mulai terdengar, ada yang berteriak ingin mandi, ada juga yang memanggil-manggil sipir untuk membuka kunci karena keburu buang air. Sinar mentari menerobos dari ventilasi. Pagi telah kembali. Yanto terbangun dari tidurnya
“Uh, Ya Tuhan! Apa yang telah terjadi. Apa aku mimpi?”
Yanto memandang ruangan dan menatap dinding yang dipenuhi lumut dan coretan selang-sengkarut. Gambar Polisi sedang kencing dan tulisan Sipir Asu! menyadarkannya bahwa ruangan itu adalah sel yang baru ia tempati kemarin pagi. Yanto coba mengingat peristiwa semalam, ketika petugas interogasi menyerahkan tugasnya kepada dua anak buahnya. Ia dipaksa mengaku, tapi menolak karena ia benar-benar yakin tidak melakukan praktik babi ngepet, hingga akhirnya kedua penjaga tersebut memukulinya sampai pingsan. Yanto teringat kata-kata petugas tersebut sebelum sepatu hitam untuk kesekiankalinya melayang ke wajahnya. Petugas itu mengancam akan membunuh anak dan isterinya kalau Yanto tidak mau mengakui bahwa dirinya memang telah melakukan praktik babi negepet.

 (diadopsi dari kolomkita.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk setiap komentar dan posting yang dimasukkan ke http://cerpen-awanangin.blogspot.com/, Harap untuk tidak menggunakan kata2 kasar yang menyangkut SARA dan pornografi.

host gator coupons