Best Web Hosting
Jangan lupa berikan komentarmu, di sini yah!

Makasih udah mau berkunjung

Mari berbagi cerita dan pengalaman kamu via e-mail ke
l3tn0313.awanangin@blogger.com. Klik Peraturan Cerpen Awan Angin

Mau bergabung dengan kami? Klik "JOIN" di bawah ini!

30 Des 2011

Guru Muda Karsono

Kini aku menyesal tidak berhenti di warung untuk sarapan. Seluruh tubuhku gemetar. Orang itu dengan mudah memasukkan ke dalam kantungnya SIM dan STNKku. Lalu menyuruhku minggir untuk menggosok nomor-nomor di plat motorku supaya menampakkan warna dasarnya. Sesuatu yang bagiku tidak berada di dalam akal.
Ini tidak benar. Mesti ada yang
mengatakan padaku isi pasal-pasal yang akan ditulis. Mesti ada perbedaan antara melanggar dan… dan menemui hal-hal begini lagi, aku merasa bodoh tidak mencari tahu isi pasal-pasal pelanggaran dan lebih memilih menaati ketentuan secara buta. Ya, mesti ada yang mengatakan padaku: plat nomor ini kategori pelanggaran yang bagaimana? Tahu keadaannya begini, aku ambil jalan lain saja ketika seorang pengendara dari arah berlawanan mengatakan ‘operasi’. Dua pengendara di depanku memutar motornya sebelum sampai di tikungan.
Tidak ingin timbul kesan sebagai seorang pendebat, aku kerjakan perintah orang itu. Aku gosok nomor-nomor itu dengan pinggiran mata uang 100. Kulakukan itu sambil jongkok. Aku tidak ingin orang lain melihat, bahwa jika berdiri kedua kakiku gemetaran. Bagaimana pun juga aku berusaha patuh dalam berkendara. Lagipula aku ingin menghindari rasa gugup dan sesal yang mungkin dibawakan surat bukti berwarna merah. Aku seperti, sebagaimana pernah dikatakan, gejala pasif dari lalu lintas yang berperan sebagai objek. Celakanya, kebanyakan di antara kita, di negeri ini, sering dilupakan hak-haknya di hadapan orang-orang seperti ini dan dalam urusan-urusan sepele seperti ini. Tentu saja tetap ada kesalahan ketika berkendara. Beberapa lubang kecil di SIMku mungkin mengingatkan orang itu. Tapi ketika tidak ada kesalahan dan semua standartisasi berkendara terlengkapi, kenapa aku justru merasakan ketakutan yang tidak semestinya?
Seorang pemuda berpakaian sekolah abu-abu meminggirkan motornya dan menghampiriku. Setelah menanyakan ini itu, dia tawarkan dirinya untuk menggosok nomor-nomor itu. Aku terima tawarannya. Entah. Tanpa sarapan, sepertinya terlalu sedikit tenaga yang tersisa dari jam mengajar pagi untuk hal begini.
Diam-diam aku perhatikan bet di lengan pemuda itu. Kemudian aku ingat-ingat wajahnya. Sudah kuduga. Rupanya dia salah satu muridku. Mengetahui ini, kujaga benar supaya suara yang keluar dari mulutku tidak mengandung getaran: gugup dan ketakutan.
Lalu dia mengatakan padaku untuk melapor pada orang itu. Kukatakan padanya bahwa sudah kulakukan perintahnya. Dia berjalan menuju motorku, di mana seorang pemuda mengenakan seragam abu-abu tengah menggosok-nggosok plat nomor –eh, dari gerakannya aku tahu itu dibuat-buat.
Muridku mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Yaitu mengerik warna nomor-nomor itu supaya terlihat warna dasarnya di sini. Orang itu bertanya padanya siapa dia. Mungkin karena ingat bahwa aku berkendara seorang diri, atau dia melihat gerakan yang dibuat-buat oleh muridku dan merasa jengkel –tambah lagi bukan aku yang menyatakannya. Segera kuberitahu bahwa pemuda itu ialah salah satu muridku.
Akhirnya orang itu memberikan SIM dan STNKku dan membolehkan aku pergi tanpa surat tilang. Apakah statusku sebagai seorang guru yang menyelamatkan aku; mungkin tadi dia memandangku sebagai lepasan pemuda tanggung biasa, tapi setelah mengetahui bahwa aku ialah seorang guru maka dia membolehkan aku pergi tanpa surat tilang? Atau aku memang tidak pantas untuk ditilang? Cuma pantas diperingatkan ‘mesti dicat nanti’? Jika itu benar, semua ini terasa bagai sebuah lelucon cempulang. Bagaimana pun juga aku takut dan tak berdaya ketika dia dengan gampang menunjuk plat dan memasukkan ke dalam kantongnya SIM dan STNKku: alat yang tepat untuk menguasaiku.
Rupanya muridku tadi juga lolos dari pemeriksaan. Dari awal dia tahu bahwa ada masalah dengan motorku. Ketika akan pergi dia melihatku sedang melakukan sesuatu pada plat nomorku dan memutuskan berhenti. Aku ucapkan terima kasih padanya, dan mengutuk diriku sendiri lebih banyak dalam hati. Kini aku berhutang sesuatu pada murid yang tidak begitu kuingat namanya. Dan sebagai seorang guru, menanyakan pada muridnyaapakah ia lolos dari pemeriksaan? menggangguku, terutama penggunaan kata lolos. Sepertinya dia melihatku tidak tahu harus berbuat apa.
Kubiarkan dia berangkat lebih dulu. Bagaimana pun juga aku tidak ingin muridku melihatku begitu gugup. Cukup sampai di situ saja pengetahuannya tentang keadaanku saat ini. Cukup itu saja yang bisa dia ceritakan pada teman-temannya. Beberapa saat kemudian aku stater motorku. Aku juga tidak ingin berlama-lama di tempat ini.
Sekarang seperti tidak ada yang tersisa dari diriku. Kutanggapi dengan senyum dan anggukan, seseorang yang menegurku dengan ‘tidak apa-apa, Mas?’. Aku merasakan seluruh isi diriku menguap. Hilang entah ke mana. Kakiku masih saja gemetaran. Kaki yang terus bergerak sendiri itu mengalami kesulitan mengendalikan perseneling dan, terutama, rem. Ketakutan terhadap sesuatu tadi tidak bisa hilang begitu saja. Semuanya ini hampir merenggut seluruh tempat dalam diriku, meski tak cukup kuat untuk mencabutnya. Oh, mestinya aku tadi mengisi perutku! Setidaknya masih ada kekuatan untuk mengendalikan saraf-saraf tak sadar dari ketakutanku.
Di tengah itu semua, sebuah kendaraan menyeberang. Dengan seluruh sisa pengendalian atas kaki kananku, aku perintahkan untuk menginjak rem kuat-kuat. Tak dapat dihindarkan. Ban depan motorku menabrak bagian tengah kendaraan yang menyeberang itu, hampir mengenai kaki si pengendara. Beruntung itu hanyalah tabrakan kecil yang tidak menuntut kerusakan apa-apa selain kemarahan spontan si tertabrak.
Pengendara itu melihat bagian motornya sambil mengangkat kaki kirinya, mencari-cari barangkali ada yang rusak. Kemudian dia memandangku tajam-tajam, mengeluarkan kata-kata kasar, dan menyuruhku untuk minggir. Sepertinya dia tidak akan mengalah dengan bunyi bel yang barusan berhenti.
Pada titik ini seharusnya aku marah. Sebab dia menyeberang tanpa memperhatikan pengendara lain. Dia minggir terlebih dulu, turun dari motornya, dan berkata-kata dengan keras sambil berkali-kali mengangkat mukanya. Dia tatap mataku yang menatap tajam-tajam matanya; dia dorong-dorong badanku yang masih berada di atas motor sambil terus mengangkat muka padaku.
Terlambat. Aku masih bisa minum segelas air untuk menenangkan diriku. Tapi bagaimana dalam sekejap mengembalikan keberanian yang terlanjur menguap? Kurasakan nyaliku benar-benar hilang. Tapi demi menyelamatkan diriku sendiri, aku harus meladeni orang itu; aku harus membalas semua yang dilontarkan padaku. Ada sesuatu bergejolak hebat di dalam, rasa jengkel yang kelewat batas, sesuatu yang mirip prustasi. Dan semua yang kuteriakkan padanya, entah bersumber dari mana, membuatku lupa bagaimana seharusnya aku bersikap sebagai seorang lelaki. Keruntuhan dalam diriku yang tiba-tiba mengambil bentuk liar dalam lampiasannya.
Beruntung orang-orang segera datang sebelum terjadi adu pukul. Bila tidak, aku tentu babak belur. Sebab kakiku semakin kehabisan kekuatan setelah teriakan-teriakan tadi. Astaga, mengapa tak bersangkar saja di tubuh yang lebih kuat jiwa lemah ini!
Sekarang kerumunan itu sudah bubar. Aku tahu perkaranya bisa jadi rumit. Itu aku tahu dari cerita-cerita yang pernah kudengar selama ini. Dan aku tidak punya saudara atau kenalan yang mampu menolong aku dari urusan seperti itu. Aku bukan orang yang, sekaligus dengan bangga, sanggup berkalimat ‘tidak apa-apa, biar nanti diurus Bapak’ dan bagaimana pun variasi kalimat semacam itu.
Pengendara tadi meluncur lebih dulu dengan menarik gasnya kuat-kuat. Aku lajukan kendaraanku dengan berusaha santai; waspada siapa tahu orang itu menyanggong di suatu tempat dengan niat buruk. Ya, bisa saja dia masih tidak terima atas luapan belku tadi. Dan seorang guru: babak belur…kenapa tidak kubiarkan motorku menabraknya saja tadi! Dengan begitu jantungku tidak perlu dikejutkan oleh ban yang selip. Aku jadi bisa mengarang cerita yang lebih wajar sebagai lelaki, terutama dari luka-luka yang mungkin kudapat. Dan dengan itu, ketakutanku lebih pantas mendapat tempat untuk sembunyi. Mungkin juga akan tumbuh keberanian…
Perlahan-lahan talu-talu jantungku mulai teratur. Laju motorku masih 40 km/jam. Aku rasakan diriku sangat lemah. Tidak berdaya menghadapi apa pun. Bahkan seekor serangga saja serasa mampu merobohkan aku. Dan kesadaran ini malah memperpuruk aku dengan pikiran-pikiranku sekarang. Mengapa setelah semua terjadi aku jadi membenci diriku sendiri karena tidak berbuat sebaliknya? Mengapa aku harus merasa seperti anjing, mudah menggedikkan muka kerna ada seseorang yang menyembunyikan tangannya ke belakang? Seolah-olah aku benar-benar akan celaka oleh apa yang tersembunyi di balik punggungnya.
Kini baru sadar bahwa aku menyesal tidak meludahi muka orang-orang tadi. Keadaannya tentu akan lain dengan sekarang jika aku berani melakukan pembelaan yang pantas. Tiba-tiba saja aku ingin melakukan sesuatu terhadap orang-orang itu. Pembalasan dengan diam-diam; teror…
Aku rasakan kejadian barusan tidak mengembalikan apa pun yang hilang dari diriku. Sebaliknya, malah memperbesar apa yang hilang tadi. Sebuah spanduk melintas di depanku, berwarna kuning, dengan tulisan besar-besar MITRA MASYARAKAT: cukup banyak cerita buruk yang kudengar, bisakah hanya dengan itu membalikkan semuanya?
Seharusnya orang-orang itu merasa memiliki hutang padaku. Hutang yang sanggup menjaga tingkah mereka terhadap seorang guru seperti aku. Sepertinya memang lebih enak menjadi tentara atau polisi. Meski banyak dicaci dan dibenci, setidaknya orang masih memiliki rasa segan atau takut terhadapnya. Jiwa lemah ini masih mungkin bersembunyi di balik tubuh yang terlatih dan tegap. Dengan itu aku yakin orang tidak mudah menggangguku; tidak akan menunjuk-nunjuk mukaku sambil berkata-kata kasar dan keras, atau melakukan hal-hal yang bagiku tidak berada di dalam akal. Dan dengan itu juga, aku bisa memposisikan diriku sebagai pendebat dari orang-orang yang suka berlaku seenaknya udel, berdiri sebagai seorang lawan yang tegas; antonim dari orang-orang yang suka menakut-nakuti dan mencari-cari salah orang yang memang ditakdirkan tidak bisa mengelak.
Di sebuah warung aku berhenti. Meminta segelas kopi, beberapa batang rokok, dan menyalakannya satu. Bagaimana pun juga aku tidak boleh berkendara dalam keadaan kacau seperti sekarang ini. Lagi pula sekolah tempatku mengajar jam siang tinggal satu kiloan. Belum lagi murid-murid yang menunggu. Nah, sekarang baru kuingat nama muridku tadi; melintas sebuah ruang penuh murid, di mana fokus adalah sorot matanya. Aku tidak boleh terlihat berantakan di depan mereka. Setidaknya nada suaraku jauh dari getaran gugup. Tidak perlu ada guncangan apa pun yang keluar dari dalam. Dan semua yang kuminta dari pewarung, aku rasa cukup.
Masih sebelas seperempat. Apa salahnya terlambat beberapa menit. Warung ini toh agak tersembunyi. Tidak akan ada murid yang lewat di gang kecil ini. Aku keluarkan telpon dan menghubungi seseorang di sekolahan, mengabarkan bahwa motorku mengalami masalah dan akan sedikit terlambat. Dari dalam terdengar suara halo. Sekarang, sebelum berada di depan murid-muridku, aku harus mulai meneraturkan nada suaraku. Tiba-tiba saja melintas perasaan janggal atas kebohongan sebentar lagi.

 Surabaya, 02 September 2007, 
by chandrakr
 (diadopsi dari kolomkita.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk setiap komentar dan posting yang dimasukkan ke http://cerpen-awanangin.blogspot.com/, Harap untuk tidak menggunakan kata2 kasar yang menyangkut SARA dan pornografi.

host gator coupons